Do you need to take German course privately? Frau Sihombing unterrichtet Deutsch.

Please contact Ms Juita Sihombing 0856 9120 7788 and she will be there for you. (Jakarta, Indonesia)

Thursday, 31 May 2018

Jerman Na Mabuk



Saya, ibu saya, adik saya laki-laki, adik saya perempuan yang bungsu, keponakan saya perempuan dan keponakan saya laki-laki sedang berada di acara perkabungan seorang sanak saudara. Di antara para penyanyi yang melantunkan lagu-lagu rohani ada seorang pria yang saya kenal selalu memandu kami menyanyikan lagu “Borsak Sirumonggur” dalam setiap acara perkumpulan keluarga besar Sihombing, keturunan kakek moyang Tuan Guru Sinomba.

Borsak Sirumonggur adalah nama lain dari Sihombing Lumbantoruan. Saya rasa lagu dengan judul “Borsak Sirumonggur” diciptakan bertujuan untuk mempererat tali persaudaraan semua keturunan dari kakek moyang Sihombing Lumbantoruan.

Ketika si pria ini selesai bernyanyi saya berkesempatan untuk menyapa beliau. Seingat saya beliau ini mempunyai no generasi 17, sama dengan ayah saya (dihitung dari kakek moyang Lumbantoruan / Borsak Sirumonggur, yang diberi no 1). Berarti ada 2 kemungkinan jenis panggilan saya kepada beliau: amangtua (= ayah yang lebih tua, dalam hal ini karena posisi beliau sejajar dengan abang ayah saya) atau amanguda (= ayah yang lebih muda, dalam hal ini karena posisi beliau sejajar dengan adik ayah saya). Ini tergantung dari kakek moyang beliau. Memang kami sama-sama keturunan kakek moyang Tuan Guru Sinomba (disingkat saja menjadi TGS), namun harus diperjelas lagi silsilahnya, keturunan siapa dari anak dan cucu TGS. Ternyata beliau keturunan dari kakek moyang yang lebih tua dari kakek moyang ayah saya, yaitu kakek moyang Op. Parhoris, sementara kami dari kakek moyang Op. Mangadum. (Silakan merujuk kepada daftar silsilah / tarombo Toga Sihombing) Dengan demikian posisi beliau sebagai abang ayah saya, berarti saya memanggil amangtua kepada beliau. 😊

Setibanya di rumah kami melaporkan kepada ayah saya perjumpaan kami dengan amangtua dirigen tersebut. Lalu ayah berkata, “Oh, si Jerman na mabuk? (= orang Jerman yang mabuk)”. Saya heran mengapa amangtua dirigen disebut demikian. Ternyata menurut ayah jika seorang pria yang memiliki postur yang tinggi, melebihi ukuran tinggi pria Tapanuli pada umumnya, dan wajahnya dinilai ganteng, dalam bahasa Tapanuli Toba pria itu disebut Jerman na mabuk.  

Ayah benar, amangtua dirigen memang termasuk berwajah ganteng. 😊 Perawakannya memang tinggi melebihi tinggi rata-rata pria Tapanuli atau Indonesia pada umumnya. Sayangnya ayah tidak dapat menjelaskan lebih lanjut, mengapa disebut mabuk. Mabuk memiliki konotasi negatif. Ayah juga tidak dapat menjelaskan mengapa disebut Jerman. Selain Bangsa Jerman, orang Tapanuli juga sudah mengenal Bangsa Belanda karena penjajahan.

Apakah karena misionaris Jerman, Pdt. Dr. Ludwig Ingwer Nommensen, yang dahulu pada masa penjajahan Belanda pernah lama tinggal di daerah Tapanuli dalam rangka penginjilan? Hmm 😊

Tidak jelas juga sejak kapan ungkapan “Jerman na mabuk” ini muncul. Seandainya ungkapan ini muncul setelah masa penjajahan Belanda berakhir, saya rasa orang Tapanuli mengenal juga bangsa-bangsa Barat lainnya seperti Inggris dan Amerika. Tetapi mengapa Jerman yang dipilih? 😊

Nantilah jika saya memiliki waktu yang cukup, saya ingin melakukan penyelidikan sejarah munculnya ungkapan ini di kalangan orang Tapanuli Toba. 😉










Saudara telah membaca teks ke 59.
Silakan baca teks 60: Koq, Les Jerman?
Kembali ke teks 58: Saya Bangga Padamu





No comments: