Saya,
ibu saya, adik saya laki-laki, adik saya perempuan yang bungsu, keponakan saya perempuan
dan keponakan saya laki-laki sedang berada di acara perkabungan seorang sanak
saudara. Di antara para penyanyi yang melantunkan lagu-lagu rohani ada seorang
pria yang saya kenal selalu memandu kami menyanyikan lagu “Borsak Sirumonggur” dalam
setiap acara perkumpulan keluarga besar Sihombing, keturunan kakek moyang Tuan
Guru Sinomba.
Borsak
Sirumonggur adalah nama lain dari Sihombing Lumbantoruan. Saya rasa lagu dengan
judul “Borsak Sirumonggur” diciptakan bertujuan untuk mempererat tali
persaudaraan semua keturunan dari kakek moyang Sihombing Lumbantoruan.
Ketika
si pria ini selesai bernyanyi saya berkesempatan untuk menyapa beliau. Seingat
saya beliau ini mempunyai no generasi 17, sama dengan ayah saya (dihitung dari
kakek moyang Lumbantoruan / Borsak Sirumonggur, yang diberi no 1). Berarti ada
2 kemungkinan jenis panggilan saya kepada beliau: amangtua (= ayah yang lebih
tua, dalam hal ini karena posisi beliau sejajar dengan abang ayah saya) atau
amanguda (= ayah yang lebih muda, dalam hal ini karena posisi beliau sejajar dengan
adik ayah saya). Ini tergantung dari kakek moyang beliau. Memang kami sama-sama
keturunan kakek moyang Tuan Guru Sinomba (disingkat saja menjadi TGS), namun
harus diperjelas lagi silsilahnya, keturunan siapa dari anak dan cucu TGS.
Ternyata beliau keturunan dari kakek moyang yang lebih tua dari kakek moyang
ayah saya, yaitu kakek moyang Op. Parhoris, sementara kami dari kakek moyang
Op. Mangadum. (Silakan merujuk kepada daftar silsilah / tarombo Toga Sihombing)
Dengan demikian posisi beliau sebagai abang ayah saya, berarti saya memanggil
amangtua kepada beliau. 😊
Setibanya
di rumah kami melaporkan kepada ayah saya perjumpaan kami dengan amangtua
dirigen tersebut. Lalu ayah berkata, “Oh, si Jerman na mabuk? (= orang Jerman yang mabuk)”. Saya heran
mengapa amangtua dirigen disebut demikian. Ternyata menurut ayah jika seorang
pria yang memiliki postur yang tinggi, melebihi ukuran tinggi pria Tapanuli
pada umumnya, dan wajahnya dinilai ganteng, dalam bahasa Tapanuli Toba pria itu
disebut Jerman na mabuk.
Ayah
benar, amangtua dirigen memang termasuk berwajah ganteng. 😊 Perawakannya
memang tinggi melebihi tinggi rata-rata pria Tapanuli atau Indonesia pada umumnya. Sayangnya ayah tidak dapat menjelaskan lebih lanjut, mengapa disebut
mabuk. Mabuk memiliki konotasi negatif. Ayah juga tidak dapat menjelaskan
mengapa disebut Jerman. Selain Bangsa Jerman, orang Tapanuli juga sudah mengenal
Bangsa Belanda karena penjajahan.
Apakah
karena misionaris Jerman, Pdt. Dr. Ludwig Ingwer Nommensen, yang
dahulu pada masa penjajahan Belanda pernah lama tinggal di daerah Tapanuli
dalam rangka penginjilan? Hmm 😊
Tidak
jelas juga sejak kapan ungkapan “Jerman na mabuk” ini muncul. Seandainya
ungkapan ini muncul setelah masa penjajahan Belanda berakhir, saya rasa orang
Tapanuli mengenal juga bangsa-bangsa Barat lainnya seperti Inggris dan Amerika.
Tetapi mengapa Jerman yang dipilih? 😊
Nantilah
jika saya memiliki waktu yang cukup, saya ingin melakukan penyelidikan sejarah
munculnya ungkapan ini di kalangan orang Tapanuli Toba. 😉
Saudara telah
membaca teks ke 59.
No comments:
Post a Comment